CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

- pErMaTa_aGaMa -





Ya Allah..
pimpinlah aku ke jalan yang benar...
serta jadikanlah aku wanita s0lehah..
aminn~ (^_^)

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Sunday 23 October 2011

JENIS2 ISTISHHAB




Para ulama’ telah membahaskan tentang jenis-jenis istishhab ini. Antaranya ialah :

1.      Istishhab hukum asal atas sesuatu jika tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat dengan perbezaan pendapat yang masyhur dikalangan para ulama tentangnya; yaitu apabila hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah atau dalil lainnya seperti Ijma’ dan Qiyas. Bagi kes ini, para ulama berbeza pendapat dalam tiga mazhab :

Pendapat pertama, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, hingga adanya dalil yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegang oleh Jumhur Mu’tazilah, sebagian ulama Hanifiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Dalil-dalil mereka antara lain adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang zahirnya menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu mubah, seperti firman Allah taala :
Bermaksud : “Dia-lah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi”.                                                     
 ( Al-Baqarah : 29).

Ayat ini menunjukkan bahwa sesuatu yang ada di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh manusia, dan hal itu tidak mungkin dimanfaatkan kecuali jika hukumnya mubah.
Selain itu, Allah juga berfirman yang bermaksud :

“Katakanlah (wahai Muhammad) : ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan kepada seseorang yang  memakannya kecuali jika ia berupa bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi…”(al-An’am : 145).

Ayat ini menujukkan bahwa apa yang tidak disebutkan di dalamnya tidak diharamkan karena tidak adanya dalil yang menunjukkan pengharamannya dan menjadikan hukumnya adalah mubah.
Pendapat kedua, bahawa hukum asal sesuatu itu adalah haram, hingga ada dalil syara’ yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegang oleh sebagian Ahl al-Hadits dan Mu’tazilah Baghdad.
Alasan mereka adalah hanya Allah sahaja yang berhak dalam menetapkan syariat dan hukum. Oleh itu, kita sama sekali tidah boleh mengubah apa-apa hukum melainkan ada padanya nas yang mengubahnya.
Pendapat ketiga, bahawa hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, sementara yang membawa mudharat adalah haram. Pendapat ini dipegang oleh Jumhur ulama. Dan mereka menggunakan dalil pendapat yang pertama untuk menguatkan bahawa hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah mubah dan dalil pendapat yang kedua untuk menegaskan bahwa hukum asal sesuatu yang membawa mudharat adalah haram.
2.      Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahawa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu.
Sebagai contoh, jika ada seseorang yang menuduh bahawa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak boleh mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka yang tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas hutang atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini.
3.      Istishhab hukum yang ditetapkan oleh Ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.
Salah satu contohnya adalah bahawa para ulama telah berijma’ akan batalnya solat seseorang yang bertayammum kerana ketiadaan air di saat ia menemukan air sebelum solatnya. Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan solatnya; apakah solatnya juga batal atas dasar Istishhab dengan Ijma’ tersebut, atau solat tersebut tetap sah dan ia tetap boleh meneruskannya?
Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain seperti Al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah berpendapat bahwa dalam masalah ini Istishhab dengan Ijma’ terdahulu tidak dapat dijadikan landasan, kerana berbezanya keadaan yang disebutkan dalam Ijma’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu’ kembali.
Sementara Imam Al-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa Istishhab Ijma’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, solatnya tetap sah atas dasar Istishhab keadaan awalnya iaitu ketiadaan air untuk berwudhu’.

Sekian..wallahu’alam
~ sharing is caring..(^_~) ~
 

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...